Skip to main content

Orangtua dan Anak Saya Memancing Kemarahan Saya!

Ingin rasanya saya bentak mertua saya. Sulit sekali diberi tahu. Sudah dibilang anak saya tidak boleh dibelikan mainan dulu, tidak boleh jajan es krim dulu. Diam-diam dia beri es krim. Dia ajari anak saya untuk sembunyi-sembunyi beli mainan di belakang saya. Lalu, ketika suami saya sudah janji mau jalan-jalan bersama sore ini. Mumpung ia tidak lembur. Mertua saya tahu itu dan mulai berulah mencari perhatian. Dia mengatakan bahwa perutnya tidak enak dan butuh periksa ke dokter. Batal deh rencana kami sore itu.

Akhirnya anak saya merengek karena tidak jadi pergi jalan-jalan. Lagi-lagi mertua bertingkah seperti pahlawan, mengatakan bahwa besok akan dibelikan mainan jika anak saya berhenti menangis. Oh wow! Sungguh luar biasa. Saya tak kuasa lagi menahan jengkel, akhirnya saya masuk kamar dan membanting pintu. Saya biarkan suami saya mengurus anak dan mertua saya itu.

-Ny. S-

Anak saya berulah lagi. Sudah diberi tahu berkali-kali bahwa makan harus duduk, dan tidak boleh memainkan makanan di piring. Tapi selalu seperti itu. Belum lagi dia ribut sudah kenyang dan mau main padahal makannya belum habis. Saya mulai marah dan mengancam dia. Tidak ada nonton TV jika makannya tidak habis. Di saat seperti itu datanglah mertua membela anak. Menyuapi dia sambil mengajaknya bermain. Arrrrgggh saya bisa gila lama-lama. Bagaimana saya bisa mendidik anak saya mandiri kalau mertua selalu mengacaukan semuanya. Belum lagi ibu saya. Setiap kali mendengar anak saya melakukan sesuatu yang kurang baik ataupun bertingkah manja, selalu saja memberikan nasihat panjang lebar, seolah dia yang paling tahu urusan mengasuh anak. Seolah saya tak melakukan apa-apa padahal sumber masalahnya bukanlah di saya. Belum lagi Ibu saya sukanya mengeluh tentang ini lah itu lah. Gimana saya tidak mau jutek kalau dia telpon. Setiap telpon selalu buat saya sakit kepala.

-Ny. N-

GENERASI SANDWICH. Demikian para ahli menamai kelompok manusia dewasa yang telah memiliki anak, dan masih memiliki orang tua. Mengapa sandwich dan bukan burger? Sebetulnya bukan itu intinya. Intinya, generasi sandwich ini diapit oleh 2 generasi, yakni generasi di atas mereka (orang tua, baik itu orang tua kandung, ataupun mertua) dan generasi di bawah mereka (anak-anak).

Kedua generasi tersebut (orang tua dan anak-anak) umumnya menjadi tanggung jawab generasi sandwich ini. Orang tua yang perlu diurus dan diperhatikan, terutama kebutuhan kesehatan dan emosionalnya. Serta anak-anak yang perlu ditanggung, dirawat dan dididik agar tumbuh menjadi pribadi yang baik dan sehat.

Tugas dan tanggung jawab mengurus 2 generasi tersebut tentunya tak jarang memberikan tekanan tersendiri bagi kelompok generasi sandwich ini. Nah, tekanan inilah yang akhirnya memicu konflik dalam diri maupun konflik antar pasangan pada generasi sandwich. Tak bisa dipungkiri, emosi negatif seperti marah, jengkel, hingga frustasi pasti muncul dalam keseharian generasi sandwich. Tak heran pula jika stok kesabaran menjadi menipis, kemampuan memecahkan masalah menggunakan logika menjadi menurun, sehingga perilaku-perilaku yang dikendalikan oleh emosi seperti marah-marah, membentak, mengancam, berteriak, hingga memukul kerap terjadi.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Tentunya saya tidak bisa mengatakan dengan gampang, “Sabarlah, jangan mudah terpancing, jangan marah-marah, Anda nanti rugi sendiri.” Sungguh kenyataanya tak semudah itu. Emosi-emosi marah, jengkel dan sebagainya tadi memang akan datang tanpa diundang, dan menyerang dengan kuat. Yang terpenting bukan bagaimana Anda menekan emosi negatif itu agar tidak muncul. Bukan! Kuncinya di bagaimana cara Anda melepaskan emosi negatif itu, lalu meredakannya. Pentingnya kemampuan melepaskan dan meredakan emosi negatif inilah yang selalu saya latihkan kepada para orang tua dalam workshop parenting Positive Parenting Classes yang saya adakan bersama Positive Parenting Challenge.

Selain kemampuan melepaskan dan meredakan emosi negatif, diperlukan juga kemampuan-kemampuan lain yang harus dikuasi Anda dan pasangan sebagai generasi sandwich. Tanpa adanya kemampuan-kemampuan berikut ini, maka sudah bisa dipastikan, hari-hari Anda menjalani hidup sebagai generasi sandwich akan terasa berat sekali.

APA SAJAKAH KEMAMPUAN ITU?

1. Manajemen prioritas

Anda dan pasangan harus bisa memilah, aktivitas mana yang MENDESAK, mana yang PENTING, mana yang KURANG PENTING, dan mana yang TIDAK PERLU. Sesuai kesepakatan bersama tentunya, karena Penting menurut Anda belum tentu Penting menurut pasangan.

2. Manajemen waktu

Anda dan pasangan harus bisa mengatur waktu dengan baik. Waktu untuk sendiri, waktu untuk bekerja, waktu untuk keluarga besar, waktu untuk keluarga inti, waktu untuk pasangan, waktu untuk anak. Semuanya harus dibagi berdasarkan prioritas (lihat poin no 1).

3. Komunikasi efektif

Untuk bisa menentukan manajemen prioritas dan waktu yang baik, Anda dan pasangan harus punya kemampuan komunikasi yang efektif. Jika setiap bicara isinya berdebat, atau saling menuntut dan saling menyalahkan, jangan harap Anda bisa menentukan manajemen prioritas dengan benar. Jangan harap Anda bisa punya kesepakatan tentang kapan bisa quality time keluarga dan bisa me time.

4. Kemampuan memecahkan masalah

Tidak ada manusia yang hidup tanpa masalah. Percayalah. Semua keluarga selalu punya masalah kecil dan besar untuk diselesaikan SETIAP HARI nya. Ketika masalah ini datang, orang yang punya kemampuan memecahkan masalah dengan baik, ia biasanya akan mampu:

a. Menemukan sumber masalah

b. Mencari alternatif solusi untuk masalah tersebut

c. Memikirkan faktor resiko dari setiap solusi yang ada

d. Membuat keputusan solusi yang manakah memiliki efek positif yang terbaik dengan resiko terkecil

Nah, tanda paling mudah untuk mengecek apakah dalam kehidupan sehari-hari Anda memiliki kemampuan memecahkan masalah adalah: Ketika Anda mengeluh tentang suatu hal, tanyakan ini ke diri Anda, “Apa yang harus saya lakukan setelah ini supaya masalah ini beres/ tidak terulang?” Jika Anda bisa menjawabnya, maka kemungkinan besar Anda bisa dikatakan memiliki kemampuan memecahkan masalah (masalah kemampuan ini baik atau tidak, harus ditelaah lebih dalam lagi). Namun jika Anda tidak punya jawabannya, bahkan cenderung menjawab dengan “Ah tidak tau ah. Saya pusing!”, maka kemungkinan besar Anda tidak terbiasa berpikir untuk memecahkan masalah. Biasanya efek negatifnya adalah: adanya problem relasi dengan orang lain (dengan anak, pasangan, mertua, rekan kerja, dsb), serta konflik rumah tangga dan konflik pengasuhan yang semakin hari semakin buruk.

5. Kerja sama

Setelah Anda menentukan prioritas, waktu, serta solusi, maka sia-sialah jika hanya 1 pihak (suami atau istri) saja yang menjalankan. Diperlukan komitmen berdua, yang artinya ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara Anda dan pasangan sebagai sebuah TIM. Bicarakan dengan pasangan, siapa yang in charge menegur/ menolak perilaku orang tua yang berdampak buruk bagi anak misalnya. Tentukan siapa yang in charge meladeni orang tua, dan siapa yang in charge meladeni anak ketika keduanya sedang butuh perhatian tanpa harus mengorbankan salah satu. Akan semakin sulit bagi generasi sandwich menjalankan perannya dengan baik ketika tidak ada dukungan yang tepat dari para generasi sandwich lainnya, baik dari pasangan (dukungan yang paling utama) maupun sesama individu generasi sandwich lainnya (sesama perempuan, sesama pasangan suami istri, dsb, sebaiknya saling mensupport, bukan saling menghujat/ melakukan tindakan shaming).

Bagaimana caranya agar bisa memiliki kemampuan melepaskan & meredakan emosi, manajemen prioritas dan waktu, komunikasi efektif, kemampuan memecahkan masalah, dan kerja sama yang baik? Kuncinya adalah dengan TERUS SENGAJA BERLATIH. Saya tegaskan, SENGAJA BERLATIH. Tidak bisa hanya sekedar tahu lantas Anda bisa. Anda harus dengan sengaja berusaha melatih kemampuan tersebut setiap harinya.

Tahap pertama adalah kenali kemampuan diri Anda sendiri dulu. Sebaik atau seburuk apakah kemampuan Anda saat ini? Jika Anda kesulitan menilai diri Anda, minta masukan dari orang yang logis dan obyektif, atau jika memang mau lebih akurat, minta bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau professional life coach/ life mentor. Setelah itu, mengetahui kemampuan Anda di level mana, buatlah rencana-rencana spesifik untuk melatih kemampuan tersebut. Lagi-lagi jika Anda tidak bisa melakukannya sendiri, carilah bantuan dan bimbingan. Jangan diabaikan!

Jika kemampuan-kemampuan Anda tadi ternyata buruk dan Anda mengabaikannya, saya beri perumpamaan seperti ini:

“Anda memiliki sebuah kamar yang sangat berantakan. Anda tahu bahwa kamar yang baik adalah kamar yang rapi. Anda tahu Anda pusing dan malas berada di kamar itu karena sangat berantakan. Namun Anda tak mulai berbenah. Anda malah memilih menutup pintu kamar dan beristirahat di kamar lain. Setiap kali Anda masuk ke kamar itu, maka kamar itu tetap berantakan, dan semakin KOTOR dan BERBAU. Solusinya hanya satu jika Anda menginginkan kamar itu menjadi rapi dan nyaman. Yaitu: MULAI BERBENAH. Sedikit demi sedikit dibereskan, terus konsisten dibereskan hingga akhirnya rapi dan bisa Anda nikmati dengan nyaman.”

Jadi, jika kondisi kehidupan pernikahan/ pengasuhan Anda sedang berantakan, ingat, mulailah berbenah sedikit demi sedikit. Dibereskan, dicari solusinya perlahan-demi perlahan hingga satu per satu masalah Anda beres dan rapi, dan kehidupan pengasuhan/ pernikahan Anda pun sedikit demi sedikit bisa Anda nikmati dengan lebih nyaman dan bahagia.

Selamat berbenah ya. Mulailah dari diri sendiri dulu. Baru kemudian mengajak orang lain (pasangan, anak hingga orangtua). Semoga tulisan ini bermanfaat :)

Comments

Popular posts from this blog

Parenting Life

Pengalaman praktik selama bertahun-tahun mengajari saya bahwa ketika kita sudah menikah dan masih membawa sifat egois dalam relasi kita dengan pasangan dan anak, maka harapan bahwa rumah tangga harmonis bisa tercipta, hanya akan jadi mimpi belaka., , Menikah alias membangun rumah tangga, artinya harus ada keinginan dari kedua belah pihak untuk sama-sama menyesuaikan diri baik dalam hal waktu, keuangan, perasaan, gaya hidup, kebiasaan, hobi, dsb., , Berusaha menyesuaikan dengan kondisi dan perasaan pasangan, supaya apa yang kita rasa perlu dan menyenangkan, tidak membawa dampak negatif bagi diri pasangan dan anak-anak., , Berusaha menyeimbangkan antara kesukaan kita dengan keberatan pasangan. Begitu pula sebaliknya., , Tidak mudah. Apalagi jika di antara suami/ istri masih menyimpan masalah2 psikologis yang mereka bawa sejak sebelum menikah, yang mengakibatkan mereka kesulitan beradaptasi dan bernegoisasi secara positif dengan orang lain., , Hey, dalam sebuah pernikahan di

N.A.W.O. (NO ACTION WRITE ONLY)

Sebelum bulan Januari berakhir, saya kira topik resolusi awal tahun masih bisa dikatakan hangat lah ya 😁, , 1 bulan terakhir ini, sebagian besar resolusi awal tahun yang saya buat, sudah mulai saya jalankan. Ada yang 10% berjalan, ada yg 30% berjalan, ada yang 75% berjalan. Semuanya di bidang pekerjaan., , Yang berjalannya 0% ada ga? Masih ada sayangnya, yaitu di bagian kesehatan (jalan pagi/ olahraga rutin/ berhenti ngopi/ minum air putih 2 liter per hari). Semuanya masih blum ada yang dimulai 🤦‍♀️ Terlihat ya, fokus dan prioritas sy dimana saat ini. Dan tolong jangan ditiru. Ini contoh yg jelek sekali., , Saat sy merenung tadi malam, sambil berencana mengisi agenda kerja minggu depan, sy baru sadar bahwa MINGGU INI ISI AGENDA SAYA KOSONG. Seolah sy tidak ada kegiatan apapun. Padahal, badan ini sudah mau remuk karena berhasil menyelesaikan beberapa deadline tugas., , 2 minggu sebelumnya, AGENDA SAYA SEMINGGU TERISI PENUH. Padat dengan catatan, namun beberapa catatan lalu