Skip to main content

JANGAN HANYA MENYEKOLAHKAN ANAK DI SEKOLAH BERGENGSI, TAPI DIDIKLAH ANAK AGAR PUNYA HAL INI!

Dalam bekerja saya selalu berusaha memberikan yg terbaik.

Ketika menangani klien, membuat laporan psikologis, maupun  membuat materi/ modul workshop parenting, saya memilih untuk memberikan yang terbaik versi saya.

Itulah sebabnya ketika mendelegasikan tugas atau bekerja sama dengan orang lain, saya punya ekspektasi orang tersebut juga berusaha yang terbaik.

Bagi saya cara bekerja setiap orang boleh berbeda. Dan saya cenderung tidak menilai seseorang dari cara kerjanya.

Ada yang banyak bicara atau bernyanyi/ bersenandung ketika bekerja.
Ada pula yang khusyuk serius tapi ritme kerjanya pelan.
Saya biasanya bisa memakluminya.

Yang sulit saya maklumi adalah ketika mereka bekerja "asal selesai", "asal jadi" atau "sekedarnya". Saya sulit memaklumi mereka yang enggan melakukan yang terbaik yang mereka bisa.

"Etos kerja" demikian istilahnya.
Sebuah sikap bekerja yang sifatnya internal, berasal dari dalam diri seseorang. Bukan karena iming2 profit besar, gaji tinggi atau bonus semata. Tapi karena ia sadar bahwa kualitas dirinya tercermin dari sikap kerjanya. Bukan hanya sekedar dari hasil karyanya saja. Tapi dari proses terbaik yang bisa ia kerjakan.

Itulah sebabnya orang yang punya etos kerja yang baik, cenderung digandrungi bahkan dipertahankan dalam sebuah pekerjaan. Ia tahu betul bahwa ia tidak akan mencuri ide dan karya org lain. Ia jujur dan berdedikasi. Bisa dipercaya dan diandalkan di masa kritis. Bersedia mengemban tanggung jawab dan memberikan sumbangsih tanpa terlebih dahulu menghitung untung dan rugi.

Sayangnya, tak semua profesional, bahkan lulusan universitas bergengsi, punya etos kerja yg baik. Karena etos kerja bukan bicara tentang kemampuan kognitif, tapi tentang karakter seseorang.

Itulah sebabnya, ketika mencari sekolah anak, saya mencari sekolah yang menekankan pada pentingnya pendidikan karakter. Sekolah yang kiranya bisa membuat anak saya mau dan mampu berprestasi akademik, tapi juga punya karakter pekerja keras, tekun, mau berusaha, jujur, dan bertanggung jawab.

Eits tapi bukan berarti lantas saya maunya tinggal bayar lalu mau terima beres ya. Biar bagaimanapun pun orang tua adalah pendidik utama karakter anak. Baru kemudian yg kedua adalah guru di sekolah.

Bagaimana dengan Anda? 😊

Comments

Popular posts from this blog

Orangtua dan Anak Saya Memancing Kemarahan Saya!

Ingin rasanya saya bentak mertua saya. Sulit sekali diberi tahu. Sudah dibilang anak saya tidak boleh dibelikan mainan dulu, tidak boleh jajan es krim dulu. Diam-diam dia beri es krim. Dia ajari anak saya untuk sembunyi-sembunyi beli mainan di belakang saya. Lalu, ketika suami saya sudah janji mau jalan-jalan bersama sore ini. Mumpung ia tidak lembur. Mertua saya tahu itu dan mulai berulah mencari perhatian. Dia mengatakan bahwa perutnya tidak enak dan butuh periksa ke dokter. Batal deh rencana kami sore itu. Akhirnya anak saya merengek karena tidak jadi pergi jalan-jalan. Lagi-lagi mertua bertingkah seperti pahlawan, mengatakan bahwa besok akan dibelikan mainan jika anak saya berhenti menangis. Oh wow! Sungguh luar biasa. Saya tak kuasa lagi menahan jengkel, akhirnya saya masuk kamar dan membanting pintu. Saya biarkan suami saya mengurus anak dan mertua saya itu. - Ny. S - Anak saya berulah lagi. Sudah diberi tahu berkali-kali bahwa makan harus duduk, dan tidak boleh mem

Parenting Life

Pengalaman praktik selama bertahun-tahun mengajari saya bahwa ketika kita sudah menikah dan masih membawa sifat egois dalam relasi kita dengan pasangan dan anak, maka harapan bahwa rumah tangga harmonis bisa tercipta, hanya akan jadi mimpi belaka., , Menikah alias membangun rumah tangga, artinya harus ada keinginan dari kedua belah pihak untuk sama-sama menyesuaikan diri baik dalam hal waktu, keuangan, perasaan, gaya hidup, kebiasaan, hobi, dsb., , Berusaha menyesuaikan dengan kondisi dan perasaan pasangan, supaya apa yang kita rasa perlu dan menyenangkan, tidak membawa dampak negatif bagi diri pasangan dan anak-anak., , Berusaha menyeimbangkan antara kesukaan kita dengan keberatan pasangan. Begitu pula sebaliknya., , Tidak mudah. Apalagi jika di antara suami/ istri masih menyimpan masalah2 psikologis yang mereka bawa sejak sebelum menikah, yang mengakibatkan mereka kesulitan beradaptasi dan bernegoisasi secara positif dengan orang lain., , Hey, dalam sebuah pernikahan di

N.A.W.O. (NO ACTION WRITE ONLY)

Sebelum bulan Januari berakhir, saya kira topik resolusi awal tahun masih bisa dikatakan hangat lah ya 😁, , 1 bulan terakhir ini, sebagian besar resolusi awal tahun yang saya buat, sudah mulai saya jalankan. Ada yang 10% berjalan, ada yg 30% berjalan, ada yang 75% berjalan. Semuanya di bidang pekerjaan., , Yang berjalannya 0% ada ga? Masih ada sayangnya, yaitu di bagian kesehatan (jalan pagi/ olahraga rutin/ berhenti ngopi/ minum air putih 2 liter per hari). Semuanya masih blum ada yang dimulai 🤦‍♀️ Terlihat ya, fokus dan prioritas sy dimana saat ini. Dan tolong jangan ditiru. Ini contoh yg jelek sekali., , Saat sy merenung tadi malam, sambil berencana mengisi agenda kerja minggu depan, sy baru sadar bahwa MINGGU INI ISI AGENDA SAYA KOSONG. Seolah sy tidak ada kegiatan apapun. Padahal, badan ini sudah mau remuk karena berhasil menyelesaikan beberapa deadline tugas., , 2 minggu sebelumnya, AGENDA SAYA SEMINGGU TERISI PENUH. Padat dengan catatan, namun beberapa catatan lalu