Skip to main content

EDUKASI SEKS UNTUK ANAK AUTIS

Artikel ini diterbitkan dalam Majalah Kesehatan DOKTER KITA edisi 4 tahun VIII bulan April 2013

1. Seberapa penting pendidikan seks pada anak autis? Mengapa?


Anak dengan gangguan autisme biasanya tidak mengalami hambatan pada perubahan dan fungsi organ-organ seksual. Artinya, ketika memasuki masa remaja, maka anak dengan gangguan autisme tetap akan mengalami pubertas dan memiliki dorongan seksual yang sama dengan anak seusianya. Oleh sebab itu, pendidikan seks bagi anak autisme sama pentingnya dengan pendidikan seks bagi anak yang tidak mengalami gangguan autisme.

2. Masalah-masalah apa saja yang mungkin bisa muncul, terkait masalah seksual pada anak autis? Mengapa dan bagaimana bisa bisa muncul masalah tersebut?


Masalah yang umumnya muncul adalah masalah perilaku seksual yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Anak dengan gangguan autisme umumnya mengalami kesulitan dalam memahami aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Untuk memahami mengenai norma sosial, mereka membutuhkan penjelasan yang lebih sederhana dan konkret jika dibandingkan anak-anak lain seusianya. Dengan kata lain, ketika seorang anak dengan gangguan autisme merasakan dorongan seksual pada dirinya, ia dapat saja dengan langsung mengekspresikannya kepada orang lain tanpa memahami bahwa hal tersebut dapat mendatangkan malu bagi dirinya maupun bagi orang yang melihat/ mendengarnya. 

3. Kapan dan bagaimana cara tepat memberikan edukasi seks pada anak autis? Adakah tahap-tahap dalam mengedukasi mereka (berdasarkan umur atau yang lainnya)?
Cara paling tepat untuk memberikan edukasi seks pada anak dengan autisme adalah dengan memperhatikan tiga hal.

Pertama, perhatikan perkembangan fisik organ seksual anak. Ketika organ-organ seksual anak mulai matang, orang tua harus lebih waspada memperhatikan dampak dari kematangan organ tersebut terhadap emosi dan perilaku anak. 

Kedua, perhatikan perilaku seksual anak. Kematangan organ seksual secara hormonal akan menyebabkan munculnya dorongan seksual pada individu. Dorongan tersebut akan menyebabkan individu memunculkan perilaku-perilaku tertentu yang bertujuan untuk menyalurkan dorongan seksual, yang disebut sebagai perilaku seksual. Orang tua harus jeli dalam memperhatikan perilaku seksual yang muncul pada anak, sebagai bentuk ekspresi anak ketika menyalurkan dorongan seksual yang sedang muncul pada dirinya. Jika perilaku tersebut ditampilkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat, orang tua harus melatih anak untuk menahan dorongannya dan mengalihkannya kepada hal-hal lain. Hal tersebut harus dilatih dengan pendampingan rutin dari orang tua sampai anak bisa melakukannya sendiri. 

Ketiga, perhatikan usia mental anak. Usia mental bicara tentang kematangan emosional dan kecerdasan anak. Ketika edukasi seks diberikan, bahasa dan jenis latihan yang digunakan oleh orang tua harus sesuai dengan usia mental anak. Meskipun anak dengan autisme berusia 13 tahun misalnya, namun ketika usia mental anak tersebut adalah 6 tahun, maka latihan dan instruksi yang diberikan harus sederhana seperti layaknya ketika orang tua bicara dengan anak berusia 6 tahun. 


4. Apa yang menjadi kendala atau hambatan edukasi seks pada anak autis?
Kendala utama adalah usia mental anak autisme yang kadang berada jauh di bawah usia yang sesungguhnya. Sehingga diperlukan penyederhanaan kalimat saat memberikan pemahaman, latihan-latihan yang betul-betul praktis dengan situasi dan kondisi yang semirip mungkin dengan kondisi sehari-hari anak, serta pengulangan-pengulangan latihan hingga anak terbiasa untuk mampu melakukannya sendiri meskipun tidak ada orang dewasa yang mendampingi. 


5. Bagaimana kesadaran orang tua terhadap pendidikan seks pada anak autis, apakah rendah atau tinggi? Mengapa ?

Beberapa orang tua dari anak autisme yang saya temui cenderung memperhatikan pendidikan seks bagi anak mereka justru setelah anak mereka menampilkan perilaku seksual yang tidak sesuai dengan tuntutan norma sosial. Padahal melakukan tindakan pencegahan, justru lebih efektif untuk anak-anak mereka. Orang tua biasanya lebih fokus pada area akademis, memiliki harapan bahwa suatu saat anak-anak mereka bisa memiliki prestasi seperti anak normal lainnya, sehingga pendidikan seks menjadi terlupakan.


6. Apa yang menjadi kendala bagi orang tua untuk seks edukasi pada putra putrinya yang autis?

Hambatan utama yang seringkali dialami orang tua adalah kesabaran dan kegigihan dalam mendidik anak mereka. Anak dengan autisme, sekali lagi, merupakan anak dengan pemahaman norma sosial yang tidak sesuai dengan usianya. Umumnya, mereka cukup sulit memahami penjelasan mengenai “WHY” dan “HOW” dari peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan penjelasan yang sangat sederhana dan latihan yang sangat praktis untuk mereka. Kadang orang tua sudah membatasi diri dengan pernyataan bahwa, “Saya sudah coba berulang-ulang namun dia tetap tidak mengerti jika belum saya hukum.” atau, “Saya bukan orang yang kreatif, harus mencari banyak ide supaya anak ini paham dengan maksud saya, wah, itu terlalu sulit buat saya.”
Ketika orang tua sudah membatasi diri mereka, biasanya latihan dan penjelasan yang diberikan pada anak cenderung monoton dan diberikan dalam situasi yang penuh tekanan. Hal terebut akan menambah tekanan emosi pada anak. Anak dengan autisme yang emosinya tertekan, akan jauh lebih sulit untuk dilatih, ketimbang anak dengan autisme yang emosinya positif. 


7. Selain oleh orang tua, apakah tenaga pendidik juga harus menyampaikan edukasi seks ini? Mengapa dan bagaimana caranya?
Pendidikan seks untuk anak dengan autisme harus bersifat komprehensif. Artinya, seluruh pihak yang terkait, baik orang tua, guru sekolah, psikolog maupun terapis harus bekerja sama melatih dan membiasakan anak autisme agar memiliki perilaku seksual yang sesuai dengan norma sosial. Cara yang dilakukan pada prinsipnya adalah sama. Yang penting untuk diperhatikan adalah keseragaman dan konsistensi dalam memberikan arahan, latihan maupun hukuman dalam membentuk perilaku seks yang tepat pada anak. Sebagai contoh: ketika psikolog dan orang tua sepakat bahwa setiap kali anak menyentuh alat kelaminnya di tempat umum, maka tangan anak akan ditepis sambil mengatakan tidak boleh, kemudian anak diminta untuk menyebutkan angka 1 sampai dengan 30 sebagai hukuman sekaligus cara agar anak mengalihkan dorongannya. Hal yang sama juga harus dilakukan oleh guru dan terapis. Tidak menjadi masalah jika bentuk hukuman/ pengalihannya dibedakan, yang terpenting guru maupun terapis harus memberikan penanganan langsung ketika anak menunjukkan perilaku seksual yang tidak tepat, jangan dibiarkan.


8. Tips bekali anak autis dengan edukasi seks!

1. Ketika anak menunjukkan ketertarikan terhadap alat kelamin, beri penjelasan pada anak bahwa alat kelamin pria dan wanita berbeda, dan bahwa alat kelamin setiap orang tidak boleh sembarangan dipegang oleh orang lain. 

2. Upayakan agar anak dan orang tua memiliki kebiasaan berbusana lengkap dan sopan baik di dalam maupun di luar rumah. 
3. Hindari tayangan yang mengandung unsur seksual. 
4. Langsung berikan larangan atau hukuman segera setelah anak melakukan perilaku seksual yang melanggar norma, jangan menunggu hingga perilaku tersebut menjadi semakin sering atau semakin parah.
5. Jika dorongan seksual anak tergolong cukup tinggi dan sulit untuk dialihkan, maka orang tua harus berkonsultasi pada tenaga profesional untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.


#positiveparentingchallenge
#positiveparenting
#parenting
#parentingtips
#parentinglife
#fatherhood
#motherhood
#ayahhebat
#infoparenting
#infopengasuhan

#motherlove
#orangtuahebat
#disiplinanak
#keluarga
#keluargaindonesia
#polaasuh
#anakhebatindonesia
#anakbundaindonesia
#tipsbunda
#belajarparenting

#tipsorangtua
#anakanak
#keluargabahagia
#orangtuaku
#parentingwithlove
#anakpapamama
#ayahibuanak
#parentinginspirations
#parentingideas

Comments

  1. apakah dapat dengan memberikan pengenalan pada anak autis tentang anatomi tubuh untung awal pembelajaran seks nya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa Bu/ Pak :) Dalam memberi penjelasan mengenai anatomi yang detail tersebut, jangan lupa untuk memperhatikan taraf kecerdasan/ usia mental anak.

      Delete

Post a Comment

Dear, Maria, M.Psi.

Popular posts from this blog

JANGAN HANYA MENYEKOLAHKAN ANAK DI SEKOLAH BERGENGSI, TAPI DIDIKLAH ANAK AGAR PUNYA HAL INI!

Dalam bekerja saya selalu berusaha memberikan yg terbaik. Ketika menangani klien, membuat laporan psikologis, maupun  membuat materi/ modul workshop parenting, saya memilih untuk memberikan yang terbaik versi saya. Itulah sebabnya ketika mendelegasikan tugas atau bekerja sama dengan orang lain, saya punya ekspektasi orang tersebut juga berusaha yang terbaik. Bagi saya cara bekerja setiap orang boleh berbeda. Dan saya cenderung tidak menilai seseorang dari cara kerjanya. Ada yang banyak bicara atau bernyanyi/ bersenandung ketika bekerja. Ada pula yang khusyuk serius tapi ritme kerjanya pelan. Saya biasanya bisa memakluminya. Yang sulit saya maklumi adalah ketika mereka bekerja "asal selesai", "asal jadi" atau "sekedarnya". Saya sulit memaklumi mereka yang enggan melakukan yang terbaik yang mereka bisa. "Etos kerja" demikian istilahnya. Sebuah sikap bekerja yang sifatnya internal, berasal dari dalam diri seseorang. Bukan karena iming2 prof...

ANAK BARU SAJA PULANG SEKOLAH, JANGAN LAKUKAN 3 HAL INI

Kondisi fisik dan psikologis anak sepulang sekolah sebetulnya hampir serupa dengan kondisi fisik dan psikologis orang dewasa yang pulang bekerja. Biasanya mereka merasa lelah, penat, dan ingin rehat dari aturan, tuntutan dan kewajiban. Tak sedikit juga yang punya keinginan untuk segera berbagi cerita atau perasaan kepada orang terdekat. Oleh sebab itu, ketika anak pulang sekolah sebaiknya jangan lakukan 3 hal ini: 1. MEMBERONDONG dengan pertanyaan tentang PR, tugas, deadline, dan lainnya yang berkaitan dengan tanggung jawab sekolah. 2. MEMAKSA mereka bercerita tentang sekolah. 3. MEMAKSA mereka melakukan kegiatan yang bersifat TANGGUNG JAWAB/ KEWAJIBAN yang berat (butuh waktu lebih dari 5-10 menit). Pada prinsipnya tidak semua anak rumusnya sama. Oleh sebab itu Anda perlu memahami kondisi anak Anda. Ketika mereka pulang sekolah, amati dulu, apakah mereka terlihat lelah? Apakah mereka terlihat tidak ingin bercerita? Apakah mereka terlihat ingin beristirahat dan tidak mau diganggu?...

MANFAAT WISATA RUMAH HEWAN

Juli lalu saya sempat mengunjungi wisata Rumah Guguk di kawasan Bandung. Areanya sangat menyenangkan! Di sana anak-anak bisa berinteraksi sepuasnya dengan berbagai jenis anjing. Gemas sekali. 😍😍 Kami memang tidak memiliki hewan peliharaan di rumah. Bukan karena alasan kebersihan, tapi karena kami tahu kami belum mampu merawat mereka dengan cinta dan perhatian yang cukup. Kalau hanya sekedar dikurung dan diberi makan cukup, alangkah kasiannya mereka nanti. Oya, tahukah Anda bahwa kegiatan memelihara hewan adalah salah satu kegiatan yang baik utk mengajarkan sikap empati pada anak? Dengan mendidik mereka untuk merawat dan memperhatikan kebutuhan hewan peliharaan, sesungguhnya kita mengajarkan mereka agar punya kepekaan dan kesediaan untuk memikirkan kondisi pihak lain di luar dirinya. Kepekaan dan kesediaan peduli inilah yang akhirnya berkembang menjadi kemampuan berempati (kemampuan memahami kondisi orang lain dengan obyektif). Beda dengan simpati ya. Kalau ...