Orang tua seringkali datang kepada psikolog dengan keluhan bahwa anak mereka nakal dan sering membuat masalah. Kenakalan anak yang cukup sering dilaporkan adalah kebiasaan suka memukul, sering berteriak, senang membantah atau beradu argumen jika dinasehati, sering berkelahi atau berbuat kasar pada teman, sering mengeluarkan kata-kata kasar dan lain sebagainya.
Pertanyaan mendasar yang biasanya orang tua lontarkan adalah, “MENGAPA ANAK SAYA BISA TUMBUH MENJADI ANAK YANG NAKAL?”
Tidak jarang pula terjadi adegan “mengkambing hitamkan” pasangan di dalam ruang konsultasi. Ibu menyalahkan ayah, sebaliknya ayah pun menyudutkan ibu.
Ketika hal tersebut terjadi, orang tua perlu menyadari bahwa pada situasi seperti ini, kenakalan anak bukanlah masalah utama dalam keluarga tersebut. Pola komunikasi orang tua dan pola asuh mereka kepada buah hati itulah yang menjadi jawaban atas pertanyaan “MENGAPA ANAK NAKAL DAN BERMASALAH?”
Ketika hal tersebut terjadi, orang tua perlu menyadari bahwa pada situasi seperti ini, kenakalan anak bukanlah masalah utama dalam keluarga tersebut. Pola komunikasi orang tua dan pola asuh mereka kepada buah hati itulah yang menjadi jawaban atas pertanyaan “MENGAPA ANAK NAKAL DAN BERMASALAH?”
Orang tua perlu menyadari bahwa semenjak lahir manusia belajar melalui alat indera mereka. Anak mempelajari dan memaknai hal-hal di sekitar mereka melalui pengalaman melihat, mendengar, dan merasakan. Sebuah kutipan dalam bahasa Inggris yang saya rasa perlu untuk selalu diingat orang tua adalah: “Children see, then children do; Children hear, then children speak.”
CHILDREN SEE, THEN CHILDREN DO
Anak melihat kemudian anak melakukannya
Ketika anak melihat apa yang terjadi di sekitar mereka, anak akan belajar untuk menirukan apa yang mereka lihat. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bayi akan menangis ketika sebuah layar televisi menampilkan sosok orang dewasa yang menunjukkan ekspresi sedih terus menerus. Begitu pula sebaliknya, bayi akan tertawa dan bahkan bertepuk tangan ketika layar televisi menampilkan sosok orang dewasa yang tersenyum atau tertawa kepada mereka.
Jika orang tua mampu mengingat masa-masa ketika orang tua mengurus bayi mereka yang baru lahir. Cara efektif untuk membuat para bayi tertawa adalah dengan cara memainkan ekspresi muka seceria mungkin sembari mengajak bayi bercanda. Orang tua tidak mungkin membuat ekspresi cemberut atau marah untuk membuat bayi mereka tertawa.
Tidak hanya pada bayi, hal tersebut terus berlaku hingga anak tumbuh besar. Ketika anak melihat banyak ekspresi kesal, sedih, dan marah di sekitar mereka, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang penuh dengan rasa kesal, sedih dan marah pula dalam kesehariannya.
Ketika ayah sering mendebat perkataan ibu. Atau ibu sering memotong dan membantah ketika ayah sedang bicara. Maka jangan heran jika anak akan menirukan apa yang ia lihat. Ketika orang lain bicara atau memberikan nasehat pada anak, ia juga akan mendebat atau membantahnya.
Kesimpulannya, jika orang tua tidak ingin anak mereka melakukan sebuah tindakan, maka jangan biarkan anak melihat tindakan tersebut dalam kesehariannya. Karena jika anak melakukannya, hal tersebut bukanlah mutlak kesalahan mereka, karena mereka hanya mempraktekan hasil belajarnya.
CHILDREN HEAR, THEN CHILDREN SPEAK
Anak mendengar kemudian anak mengatakannya
Anak mempelajari kata-kata dengan cara mendengar. Anak tidak mungkin mengucapkan kata ‘sepatu’, jika anak belum pernah sekalipun mendengar kata ‘sepatu’. Jadi, ketika anak mengucapkan kata-kata kasar, orang tua perlu melakukan penyelidikan untuk mengetahui sumber pengetahuan anak tentang kata-kata tersebut. Tidak menutup kemungkinan bahwa anak mempelajarinya dalam lingkungan rumah. Jika sumber kata-kasar yang dipelajari anak berada dalam lingkungan rumah (ayah, ibu, pengasuh atau anggota keluarga lain yang tinggal di dalam rumah), maka interaksi anak dengan sumber tersebut harus dibatasi atau diblokir sama sekali, hingga sumber mampu untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar lagi ketika berada dekat anak.
Apa yang didengar oleh anak tidak hanya mempengaruhi perkataannya, namun juga perilakunya. Jika kembali mengingat dan mengkaitkan dengan perilaku bayi, bayi biasanya tidak akan kaget atau menangis ketika orang dewasa di sekitar mereka berbicara dengan volume dan intonasi yang tenang. Sebaliknya, bayi akan menangis keras ketika dikagetkan oleh suara keras, seperti suara benda yang terjatuh, suara musik yang terlalu keras, atau teriakan orang dewasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa suasana tenang mengakibatkan bayi berperilaku tenang, dan suasana bising akan menyebabkan bayi berperilaku tidak tenang.
Konsep sebab akibat tersebut berlaku di sepanjang kehidupan manusia. Berbagai survey menunjukkan bahwa situasi ramai dan bising (seperti pasar, terminal, konser musik rock dsb) membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya cenderung bergerak cepat dan memiliki suasana hati yang tidak tenang. Suasana hati yang tidak tenang tersebut memicu emosi negatif seperti rasa marah dan kesal, yang ditampilkan melalui perilaku negatif yang biasanya bersifat agresif seperti memukul, memaki dan lain sebagainya.
Jika ‘kenakalan’ terlanjur melekat pada keseharian anak, orang tua sebaiknya tidak pesimis atau bahkan menyalahkan keadaan di masa lampau. Orang tua lebih baik menanamkan pemikiran positif bahwa masa pertumbuhan dan perkembangan anak masih panjang, sehingga penanganan dini akan membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Keadaan di masa lampau dapat digunakan sebagai modal awal bagi orang tua dalam menganalisa penyebab perilaku ‘nakal’ anak.
Setelah mengetahui penyebabnya, orang tua harus mengambil komitmen bahwa sumber-sumber penyebab yang ada di masa lampau tersebut harus diperbaiki atau dihilangkan. Ketika orang tua mengalami kesulitan dalam proses memperbaiki atau menghilangkan sumber penyebab tersebut, sebaiknya mereka membuat keputusan untuk mengkonsultasikannya dengan tenaga profesional.
Comments
Post a Comment
Dear, Maria, M.Psi.