Skip to main content

POLA ASUH = Praktik atau Teori?

Sejumlah teori mengemukakan berbagai ide mengenai pengasuhan. Mulai dari tipe–tipe pengasuhan, dampak yang ditimbulkan, hingga manfaat yang akan diperoleh. Salah satu tokoh yang sangat terkenal ialah Diana Baumrind, yang membagi pola asuh ke dalam empat tipe, yakni otoriter, demokratis, permisif, dan pengabaian (neglect).
Para pakar psikologi mengakui dan bersepakat bahwa gaya pengasuhan demokratis, –yakni orang tua memberikan aturan-aturan yang tegas pada anak namun tetap memberikan kesempatan pada anak untuk berpendapat dan berkreasi dalam mengembangkan dan mengutarakan ide–, merupakan tipe pola asuh yang paling baik.
Akan tetapi, meskipun ratusan ribu penelitian tentang pola asuh telah diujikan, masih banyak orang tua yang membenarkan pengasuhan otoriter atau permisif mereka kepada anak. Ketika ditanyakan apa alasannya, tak sedikit yang menjawab demikian, “Pada praktiknya, anak-anak memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga untuk anak kami, pola asuh otoriter/ permisif inilah yang paling cocok.” Maka munculah sebuah pertanyaan lanjutan, yakni, “Manakah yang lebih penting dalam pengasuhan? Praktik di lapangan atau teori?”

Tahukah Anda bahwa penelitian yang dilakukan merupakan analisis terhadap praktik di lapangan terhadap ratusan juta populasi keluarga di berbagai negara di dunia? Jadi apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa teori hanya sekedar pengetahuan namun tidak sesuai dengan fakta di lapangan, jelaslah bahwa pendapat tersebut salah. Karena sebuah teori muncul sebagai hasil pengumpulan data dan fakta yang terjadi di kehidupan nyata.
Datang lagi kepada saya, pasangan muda yang baru menikah dan akan segera memiliki anak dalam beberapa bulan ke depan karena sang istri sedang hamil. Mereka adalah pasangan yang sangat menaruh perhatian pada pengasuhan anak, sehingga mereka ingin berkonsultasi mengenai pengasuhan yang tepat bagi anak mereka, bahkan sejak anak mereka masih bayi. Mereka begitu antusias membaca dan mempelajari berbagai teori yang ada, bahkan membuat rancangan yang sangat jelas dan terperinci mengenai bagaimana mereka akan memperlakukan anak mereka, berdasarkan acuan teori pola asuh demokratis.
Ketika rancangan tersebut mereka konsultasikan kepada saya, saya menanyakan kepada mereka, “Bagaimana jika ada hal-hal yang terjadi dan dilakukan anak Anda, yang tidak sesuai dengan rancangan Anda. Apa yang akan Anda lakukan?” Si istri terlihat terkejut, lalu terdiam dan berpikir. Sedangkan si suami, dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa, “Kami akan mencari buku referensi lain atau berkonsultasi dengan Ibu, untuk mengatasi hal tersebut.” Apa yang dilakukan oleh pasangan tersebut tidaklah salah, hanya saja mereka terlalu kaku dan terlihat seperti memprogram anak mereka.
Pengasuhan adalah sebuah teknik, yang sifatnya fleksibel namun harus memiliki prinsip dasar atau acuan yang jelas. Acuannya berdasar pada teori yang ada, sedangkan pelaksanaannya, bersifat fleksibel, yakni disesuaikan dengan karakter anak dan kondisi lingkungan di rumah.
Sebagai contoh, ketika anak melakukan kesalahan. Dalam teori dikatakan bahwa hukuman boleh diberikan sebagai konsekuensi atas pelanggaran yang anak  lakukan, akan tetapi hukuman yang bersifat kekerasan fisik dan verbal tidak boleh dilakukan. Dalam teori mengenai pola asuh demokratis dikatakan bahwa aturan yang diberikan pada anak harus tegas dan jelas, artinya anak harus diberi pengertian mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa alasannya, dan apa akibat yang bisa ditimbulkan jika anak melakukan hal tersebut. Akibat yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya sekedar hukuman dari orang tua, melainkan dampak negatif yang akan diperoleh anak. Dalam teori modifikasi perilaku dikatakan bahwa hukuman harus segera diberikan setelah anak melakukan kesalahan, dan jenis hukuman yang akan anak dapatkan harus berdasarkan kesepakatan dengan anak.
Teori tersebut di atas merupakan acuan untuk menentukan cara menghukum anak atas kesalahan yang anak lakukan. Sehingga pada praktiknya, ketika seorang anak yang sangat menyukai aktivitas menonton televisi, mungkin saja dihukum untuk tidak menonton televisi selama satu hari ketika ia melakukan kesalahan. Sedangkan untuk anak yang menyukai aktivitas bermain bola, hukuman untuk tidak menonton televisi tersebut tidak akan berdampak besar terhadap perubahan tingkah laku anak tersebut.
Cara Mempraktikan Teori Pola Asuh Demokratis
Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang disimpulkan sebagai pola asuh terbaik. Anak-anak yang memiliki orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis, biasanya cenderung lebih kreatif, ceria, berprestasi secara akademis maupun non akademis, dan lebih mandiri dalam membuat keputusan. Dalam penerapan pola asuh demokratis ada dua hal yang perlu dilaksanakan yakni pemberian aturan yang jelas dan tegas, dan sikap responsif dari orang tua.
Aturan. Tidak ada patokan usia untuk mulai mempraktikan pola asuh demokratis pada anak. Sedari anak lahir, seyogyanya anak telah diasuh dengan pola asuh demokratis, namun yang membedakan adalah cara penyampaian aturan yang harus disesuaikan dengan usia mereka.
Anak yang lebih kecil, harus diberi pengertian dan penjelasan dengan bahasa yang lebih sederhana atau lebih konkret. Sedangkan anak-anak yang lebih besar, yang sudah mampu berpikir abstrak, dapat diberi penjelasan yang sifatnya lebih kompleks. Di sinilah pentingnya orang tua memiliki pengetahuan mengenai tahap-tahap perkembangan anak, sehingga orang tua akan memahami tentang tahap perkembangan kognitif (cara berpikir) yang dimiliki oleh anak mereka di usianya yang sekarang.
Sebagai contoh, anak-anak yang lebih kecil akan sulit memahami kalimat, “Jagalah kebersihan rumah.” Sehingga orang tua harus menggunakan kalimat sederhana yang jelas, seperti, “Buang sampah harus di tempat sampah.”
Sikap responsif. Dalam pola asuh demokratis, sikap orang tua yang responsif terhadap pikiran dan perasaan anak merupakan faktor yang penting. Orang tua sebaiknya memahami apa yang menjadi kebutuhan anak, baik itu kebutuhan jasmani maupun kebutuhan psikologis anak.
Orang tua yang memiliki anak-anak dengan kebutuhan kasih sayang dan perhatian yang cukup tinggi, hendaknya lebih sering meluangkan waktu yang berkualitas bersama dengan anak, untuk mendengarkan perasaan anak, cerita anak, dan keluh kesah yang anak rasakan. Orang tua juga harus tanggap untuk memberikan penghargaan atas prestasi yang anak capai.
Lain halnya jika anak memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi, orang tua sebaiknya membantu anak dalam mencari alternatif kegiatan yang sesuai dengan bakat dan minat anak. Hal tersebut akan membuat anak merasakan bahwa orang tua sangat memperhatikan dan menyayangi mereka, karena orang tua mampu menjawab kebutuhan mereka, meskipun orang tua tidak menunjukkan perhatian secara fisik atau verbal. 

Kesimpulan
Dengan kata lain, selain memiliki pemahaman mengenai konsep dasar pengasuhan yang tepat, orang tua juga harus memahami karakteristik anak-anak mereka. Orang tua harus mengetahui kesukaan anak, kebutuhan anak, pikiran anak, pendapat anak, dan perasaan anak. Semua itu dapat diketahui dengan adanya komunikasi yang baik antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, orang tua harus mau menyediakan waktu untuk lebih memahami anak-anak mereka.

#positiveparentingchallenge
#positiveparenting
#parenting
#parentingtips
#parentinglife
#fatherhood
#motherhood
#ayahhebat
#infoparenting
#infopengasuhan

#motherlove
#orangtuahebat
#disiplinanak
#keluarga
#keluargaindonesia
#polaasuh
#anakhebatindonesia
#anakbundaindonesia
#tipsbunda
#belajarparenting

#tipsorangtua
#anakanak
#keluargabahagia
#orangtuaku
#parentingwithlove
#anakpapamama
#ayahibuanak
#parentinginspirations

#parentingideas

Comments

  1. mirna
    gaddis
    6,5tahun
    perempuan
    permslahan.,bu knpa ank sy ska mmemberithu dng sngja kpda sy dan suami,suatu hal yg sy anggap dibodoh2IN/Agk k arah yg kurang baik,.CONTOH:''BU TDI SYA LIat Cd/bh/.,atau organ2INTIM.,klu di tgur jwab cuma mau bilang aja kt si ank,.'knp ya bu sy mnta pndpt tmn2YG LAIN jga.,pdhl dia dlu nya g prnh gitu,bru 3minggu blkngan.,sy jdi kutir bu,.tlong saran nya.,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anak Ibu kemungkinan besar adalah anak yg senang bercerita/ mengobrol dengan orang lain. Jika ya, biasanya anak dengan tipe seperti ini akan merasa disayangi atau diperhatikan ketika orang lain mendengarkan isi pembicaraannya.
      Yang menjadi kebingungan Ibu mungkin adalah mengapa TOPIK SENSUAL yg dipilih oleh anak. Ada beberapa kemungkinan penyebab:
      1. Anak sedang mencari perhatian. Mungkin saja anak sering merasa tidak dihiraukan jika memilih topik yg lain. Namun ketika anak mengutarakan topik sensual, seketika orang2 memberi perhatian padanya, baik itu berupa teguran, tatapan, dsb.
      2. Anak hanya sedang tertarik dengan hal-hal tersebut krn dianggap sebagai sesuatu hal yg baru dan membuat ia penasaran. Reaksi dari orang-orang sekitarnya pun ia anggap sebagai hal baru yg belum pernah ia lihat.

      Jangan terlalu khawatir bahwa anak Ibu mungkin memiliki kelainan seksual. Masih terlalu dini, karena ia masih 6,5 tahun. Yang juga perlu diwaspadai adalah, apakah ada orang dewasa atau kakak-kakak nya yang sering membicarakan mengenai hal sensual tersebut dan terdengar oleh anak. Jika ada, maka mereka lah yang perlu ditegur agar tidak memberi dampak buruk pada anak Ibu.

      Semoga cukup membantu.

      Salam,
      Maria

      Delete

Post a Comment

Dear, Maria, M.Psi.

Popular posts from this blog

JANGAN HANYA MENYEKOLAHKAN ANAK DI SEKOLAH BERGENGSI, TAPI DIDIKLAH ANAK AGAR PUNYA HAL INI!

Dalam bekerja saya selalu berusaha memberikan yg terbaik. Ketika menangani klien, membuat laporan psikologis, maupun  membuat materi/ modul workshop parenting, saya memilih untuk memberikan yang terbaik versi saya. Itulah sebabnya ketika mendelegasikan tugas atau bekerja sama dengan orang lain, saya punya ekspektasi orang tersebut juga berusaha yang terbaik. Bagi saya cara bekerja setiap orang boleh berbeda. Dan saya cenderung tidak menilai seseorang dari cara kerjanya. Ada yang banyak bicara atau bernyanyi/ bersenandung ketika bekerja. Ada pula yang khusyuk serius tapi ritme kerjanya pelan. Saya biasanya bisa memakluminya. Yang sulit saya maklumi adalah ketika mereka bekerja "asal selesai", "asal jadi" atau "sekedarnya". Saya sulit memaklumi mereka yang enggan melakukan yang terbaik yang mereka bisa. "Etos kerja" demikian istilahnya. Sebuah sikap bekerja yang sifatnya internal, berasal dari dalam diri seseorang. Bukan karena iming2 prof...

ANAK BARU SAJA PULANG SEKOLAH, JANGAN LAKUKAN 3 HAL INI

Kondisi fisik dan psikologis anak sepulang sekolah sebetulnya hampir serupa dengan kondisi fisik dan psikologis orang dewasa yang pulang bekerja. Biasanya mereka merasa lelah, penat, dan ingin rehat dari aturan, tuntutan dan kewajiban. Tak sedikit juga yang punya keinginan untuk segera berbagi cerita atau perasaan kepada orang terdekat. Oleh sebab itu, ketika anak pulang sekolah sebaiknya jangan lakukan 3 hal ini: 1. MEMBERONDONG dengan pertanyaan tentang PR, tugas, deadline, dan lainnya yang berkaitan dengan tanggung jawab sekolah. 2. MEMAKSA mereka bercerita tentang sekolah. 3. MEMAKSA mereka melakukan kegiatan yang bersifat TANGGUNG JAWAB/ KEWAJIBAN yang berat (butuh waktu lebih dari 5-10 menit). Pada prinsipnya tidak semua anak rumusnya sama. Oleh sebab itu Anda perlu memahami kondisi anak Anda. Ketika mereka pulang sekolah, amati dulu, apakah mereka terlihat lelah? Apakah mereka terlihat tidak ingin bercerita? Apakah mereka terlihat ingin beristirahat dan tidak mau diganggu?...

MANFAAT WISATA RUMAH HEWAN

Juli lalu saya sempat mengunjungi wisata Rumah Guguk di kawasan Bandung. Areanya sangat menyenangkan! Di sana anak-anak bisa berinteraksi sepuasnya dengan berbagai jenis anjing. Gemas sekali. 😍😍 Kami memang tidak memiliki hewan peliharaan di rumah. Bukan karena alasan kebersihan, tapi karena kami tahu kami belum mampu merawat mereka dengan cinta dan perhatian yang cukup. Kalau hanya sekedar dikurung dan diberi makan cukup, alangkah kasiannya mereka nanti. Oya, tahukah Anda bahwa kegiatan memelihara hewan adalah salah satu kegiatan yang baik utk mengajarkan sikap empati pada anak? Dengan mendidik mereka untuk merawat dan memperhatikan kebutuhan hewan peliharaan, sesungguhnya kita mengajarkan mereka agar punya kepekaan dan kesediaan untuk memikirkan kondisi pihak lain di luar dirinya. Kepekaan dan kesediaan peduli inilah yang akhirnya berkembang menjadi kemampuan berempati (kemampuan memahami kondisi orang lain dengan obyektif). Beda dengan simpati ya. Kalau ...